Karya : San2
“Seharian aku disini ………………..kehujanan” jerit seorang pengemis.
Kupalingkan wajah sesaat. Dasar pengemis tua, gerutuku. Aku sendiri
kelaparan, kehujanan dan lain-lain. Namun aku masih berusaha sabar.
***
Kota
Bandung memang dingin., sedingin jiwaku. Kota ini begitu kejam, entah
sudah berapa lama aku terkatung-katung. Kuliahku berantakan, dan aku
tidak punya uang sepeserpun. Ingin sekali aku pulang. Aku merindukan
pempek serta bau cuka yang khas. Aku kangen pada tampang garang orang
Palembang. Terutama bicara yang ketus, dan tanpa basa-basi. Yach,
meskipun sikap mereka kasar dan to the point, tapi kelembutan hati
mereka tiada terkira.
Aku rindu Ayah, Ibu dan Kak Bobby
serta Mily, adikku. Tapi sebuah musibah terjadi telah merenggut
orang-orang yang kusayangi serta kebahagiaanku. Kejadian yang sungguh
menyakitkan. Ketika itu aku berada di Bandung, sedangkan keluargaku
sedang jalan-jalan ke daerah Indralaya (masih berada di daerah Sumsel).
Tanpa diduga mobil ayah dihantam sebuah truk dengan kecepatan tinggi.
Ibu dan Milli meninggal dunia dan ayah bisa diselamatkan walaupun sempat
koma dan mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya. Sedangkan Kak Bobby
tidak ikut dalam perjalanan tersebut, sehingga ia baik-baik saja.
Kepedihan
yang mendalam masih tersisa. Walau duka menyelimuti, aku tetap bertahan
kuliah di Bandung. Setahun, kiriman masih lancar. Tapi kemudian kiriman
mulai tersendat, dan sampai akhirnya tidak ada kiriman dana lagi.
Beberapa kali aku mengirim surat tapi tak juga dibalas. Sedangkan
telepon tidak pernah nyambung. Komunikasi dengan keluarga Palembang
benar-benar terputus. Sampai akhirnya aku terkatung-katung dan tidak
bisa kembali ke Palembang.
***
Tadi ibu kost datang
untuk menagih. Ia sudah berbaik hati membiarkan aku tinggal selama 3
bulan tanpa membayar ditambah tunggakan 3 bulan sebelumnya. Ia juga
manusia dan perlu uang. Aku menyadari hal tersebut.
Aku pun
pergi dengan satu koper dan sebuah ransel. Hatiku menangis, teriris,
pedih. Inilah hidup yang sebenarnya. Ingin kembali ke masa dulu, dimana
ada kehangatan, keluarga yang lengkap dan masalah yang selalu bisa
diselesaikan bersama-sama. Aku menyesal sekali, kenapa aku memilih
kuliah di Bandung? Kenapa tidak kuliah di Palembang saja? Kenapa tidak
mengikuti saran Ibu untuk bekerja?
Nasi telah jadi bubur. Aku
menggigit lidah yang kelu. Seharusnya aku bisa menjadikan bubur tersebut
menjadi bubur ayam. Tapi aku lemah, tanpa support keluarga, tanpa
dukungan seseorang.
***
Hari ini aku ke kampus. Aku cuma
jalan-jalan untuk menemui sahabat-sahabat karena aku belum membayar
uang semesteran jadi tidak mungkin aku bisa masuk ke kelas. Disana ada
Cika, Elen, dan Giri.
“Erin, kemana aja loe?” Tanya Elen cemas. Aku tersenyum dipaksakan.
“Aku mau balik ke kampung halaman.” Jawabku berbohong.
“Beneran
nih? Wajah loe pucat banget, Rin. Loe nambah kurusan.”kata Cika. Jika
mereka mengetahui nasibku, mereka pasti tidak segan-segan untuk
membantu. Tapi aku takut jatuh ke lembah yang sama seperti mereka.
Mereka sering keluar masuk hotel bersama om om. Namun hanya mereka yang
menghargaiku sebagai sahabat. Yang lain mencemoohku sebagai gadis
kampungan.
“Rin, coba aja kamu gak nolak tawaran Om Danu waktu tuh,
nasibmu gak bakal susah. Kiriman dari bokap tuh kagak ada gunanya:”
sahut Giri.
“Maap, aku mau ke perpus.” Kataku tanpa mengindahkan perkataan Giri.
Mereka menatap kepergianku dengan kecewa.
***
“Rin….”Cika mengejarku.
“Ada apa?” tanyaku. Ia berdiri disampingku. Lalu kami duduk di taman.
“Rin,
gua tau loe lagi ada masalah keuangan…” Cika menatapku ragu-ragu,
tampaknya ia takut menyinggung perasaanku. Aku hanya membisu.
Sesungguhnya masalah yang paling kukhawatirkan adalah keluarga. Aku
merindukan Ayah dan Kak Bobby, Ibu dan Milly juga.
“Jadi rin, gua mau kasih loe sebuah bisnis. Tapi plis jangan kasih tau yang lain, Giri dan Elen juga.”
“Bisnis apa? Jualan?”sambarku.
“Bukan yang kayak gitu tapi……”ia membisikkan ke telingaku.
“APA???? COWOK????” jeritku.
“Pelan-pelan donk,” ia menutup mulutku.
“Aku kan sudah pernah bilang, kalo aku gak mau melakukan hal-hal seperti itu, Cik.”
***
“Loe tau Kiran kan?” Tanya Cika
“Cowok tajir yang belagu itu kan” jawabku. Cika mengangguk.
“Dia berani membayar duit sepuluh juta kalo loe mau pergi sama dia ke villa keluarganya selama tiga hari.”
“Gila kamu, Cik. Kamu mau jual aku pada cowok itu?” kataku marah.
“Bukan seperti yang loe pikirkan, Rin. Dia gak bakal berbuat yang macem-macem deh.” Janji Cika.
“Gak mau. Dia bisa merekayasa semuanya. Tapi aku tidak akan tertipu.” Cetusku dengan emosi sambil meninggalkan Cika.
***
Sambil
menyusuri jalan, aku menahan tangis. Tak kusangka, Cika berani
menawarkan hal seperti itu kepadaku. Padahal diantara sahabatku, dia
yang paling menghormati prinsipku. Walaupun dibayar satu milyar, lebih
baik aku mati daripada harus jual diri.
Aku tak punya harta yang
berharga. Tapi kebanggaanku adalah aku belum berubah, aku tetap Erin
yang lugu dan polos. Entah bagaimana nasibku selanjutnya. Yang kutahu,
rizki dan takdirku ada di tangan Yang Maha Kuasa.
Sebuah sedan mengiringi langkahku, dan perlahan-lahan berhenti. Kaca jendelanya terbuka.
“Rin,
bisa kita bicara?” Tanya Kiran. Ehmmm…dia mau apa? Apakah dia kira aku
menerima tawarannya. Aku terus melangkah. Kiran keluar dari mobil dan
menarik tanganku.
“Mau apa kamu?”tanyaku keras.
“Sebentar aja, Rin.” Ia memegang tanganku dengan erat dan mendorong tubuhnku secara paksa masuk ke mobil.
***
“Cika uda cerita?” Tanyanya tanpa basa-basi.
“Iya dan aku menolaknya.” Jawabku ketus.
“Kenapa, rin? Bukannya kamu lagi perlu uang?”
“Siapa yang bilang? Aku ini gadis baik-baik.” Kataku dengan jelas.
Ia menatapku sambil tersenyum.
“Justru karena kamu gadis baik-baik makanya aku memilih kamu.” Jawab Kiran.
“Ohhhhh….jadi kamu mencari mangsa pada gadis lugu.”
“Rin…kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku janji aku tidak akan menyentuhmu bahkan sehelai rambutpun.”
“Sebenarnya mau kamu apa, Kiran?”
“Aku cuma mau memperkenalkan kamu sebagai pacarku pada orang tuaku.” Jawab Kiran.
“Cuma itu?” tanyaku berusaha mencari celah dari niat Kiran sebenarnya.
“Oke, jika kamu tidak percaya, nih ambil” dia melemparkan sesuatu ke tanganku. Aku menjerit tertahan karena terkejut.
“Ambil
ini dan simpan. Jika aku lupa pada janjiku, Maka tusuklah aku dengan
pisau itu.” Ucapnya yakin. Aku memandang pisau lipat yang ia berikan
kepadaku.
“Gimana?” Kiran meminta kepastian dariku.
“Baiklah, tapi tiga puluh juta.” Jawabku dengan tegas.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar