"Benar lho, Na. Dion kemarin mulai sering curi-curi pandang ke arah gue. Bukannya ge-er. Dua kali gue nangkep basah," kata Winta sambil menelan cendol hijau kesukaannya.
"Itu berarti udah deket lagi ama jadian. Kayak waktu gue dengan Restu tempo hari. Nggak lama setelah dia suka curi pandang, mulai deh dia ngajak nonton. Mana film India lagi. Tahu kan gue paling suka film India. Udah karcisnya murah, filmnya panjang," timpal Diana. Tangannya membetulkan letak kacamatanya.
"Ah, itu sih otak elo aja yang nggak mau rugi!" sahut Winta. Ia kemudian melirik Ria yang cuma mengaduk-aduk siomai di depannya. "Elo sendiri gimana? Gacoan elo udah dapat?"
Ria cuma tersenyum kecil matanya menerawang lalu mengedip-ngedip membuat Diana dan Winta penasaran. "Pokoknya seru dan mengesankan," mulut Ria terbuka. Ia sendiri tidak tahu bagaimana tiba-tiba bisa mengatakan kalimat itu.
"Seru gimana?" tanya Winta yang tak menyangka Ria akan memberi respon lantaran sejak tadi cuma bengong.
Mulut Ria tak segera terbuka. Dipandanginya Winta dan Diana bergantian. "Begini.... Mmm, kemarin gue kan ke toko buku beli diari buat kado ultah Nenek gue. Nah, pas pulangnya di bis ada cowok cakep. Ya, akhirnya kita kenalan deh."
"Pasti elo duluan yang ngajak kenalan," tuding Diana.
"Yee, kok nuduh. Yang jelas mulanya karena waktu itu gue mau bayar bis, tapi nggak punya receh. Uang gue limapuluh ribuan semua. Untung cowok di sebelah gue itu ngerti dan mau bayarin gue."
"Namanya siapa?" tanya Winta dan Diana nyaris berbarengan.
"Namanya.... Mmm Roy. Ya, Roy. Perhatikan, dari namanya aja dia bakalan cocok jadi cowok gue. Ria dan Roy. Cocok, kan?" Mata Ria berbinar. Dia memuji dirinya sendiri dalam hati karena kali ini bisa membuat dua sahabatnya takjub. Soal apakah dusta itu akan terbongkar, itu urusan nanti.
Bel istirahat usai berbunyi. Tiga sahabat itu bergegas menuju kelas setelah membayar apa yang mereka makan dan minum selama di kantin. Di sela-sela waktu belajar, pikiran Ria menerawang memikirkan rencana obrolan soal cowok gacoannya. Ya, tidaknya dia tak perlu duduk menjadi pendengar setia saat di antara sahabatnya.
Pulang sekolah Ria tidak bisa pulang bareng dengan dua sahabatnya. Diana pulang dengan cowok barunya, Restu. Meski Restu menawarinya untuk satu mobil, tapi Ria menolak. Apa enaknya jadi kambing congek di antara sepasang kekasih. Sementara itu Winta masih harus rapat OSIS. Tentu aja cewek itu semangat karena di sanalah dia bisa saling curi-curi pandang dengan Dion.
Ria melangkah malas ke halte terdekat. Jam pulang sekolah begini butuh perjuangan untuk mendapatkan tempat duduk fi atas bis. Makanya Ria sengaja memilih bis patas AC, meski mahal asal sampai. Begitu bis yang ditunggunya datang, Ria segera naik dan mencari tempat duduk di bagian belakang, biar gampang turun.
"Hei, ketemu lagi kita! Baru pulang?"
Ria terkejut mendengar sapaan di sebelahnya karena ia baru saja duduk. Seorang cowok cakep menatapnya sambil tersenyum. Ria mencoba mengingat-ingat sosok di sebelahnya. Siapa?
"Lupa, ya? kemarin sore kita kan baru kenalan di bis. Namamu Ria, dan aku Roy. Kita kenalan gara-gara kamu nggak punya uang receh untuk bayar bis kemarin. Ingat?"
Ria menggeser duduknya sedikit menjauh. Roy? Kemarin? Ah, mana mungkin! Aku kan cuma berbohong mengatakan hal itu kepada Winta dan Diana pagi tadi. Lalu siapa orang ini sebenarnya? Ria kelimpungan.
"Terserah kamu kalo memang nggak mau kenal lagi denganku. Cuma kamu perlu tahu, aku nggak bisa tidur semalaman. Habis kamu nggak ngasih tahu nomor HP. Untung Tuhan kasihan sama aku. Nggak nyangka bisa ketemu kamu pulang sekolah begini," Roy terus nyerocos.
Ria masih berpikir. Aku nggak bisa diam terus, putusnya dalam hati. "Maaf, kalau boleh tahu, kamu sendiri masih sekolah, kuliah atau...."
"Menurut kamu apa? Yang jelas aku sudah tamat SMA. Apa kamu keberatan kalau punya pacar bukan anak SMA?"
"Pacar? Kok ngelantur, sih?"
"Lho, kamu kan kemarin bilang belum punya pacar. Apa aku kurang ganteng untuk ukuranmu?"
Ria melirik wajah Roy. Matanya begitu mirip Ethan Hawke. Sama persis dengan cowok yang diidolakan Ria selama ini. Pantas saja Ria tadi merasa pernah melihat Roy. Setidaknya, Ria memang pernah membayangkan punya pacar yang bertampang macam itu.
"Ria dan Roy. Aku rasa itu nama pasangan yang cocok, kan?" kata Roy lagi.
Ria mengerutkan dahinya. Kalimat itu sempat diungkapkannya kepada Diana dan Winta tadi pagi. Ia menghela napas sebentar. Semua ini tidak mungkin dipikirkan. Jalani aja... jalani aja, bisiknya dalam hati.
"Rumahmu masih jauh?" Roy menyentak Ria.
"Masih dua halte lagi," jawab Ria setelah melihat keluar jendela. "Nanti ganti naik mikrolet. Sampailah."
"Boleh aku tahu rumah kamu?"
Ria buru-buru menggeleng. "Kapan-kapan aja. Jangan sekarang," lanjutnya. Dia ngeri membayangkan tampang Neneknya kalau sampai melihat ada cowok yang mengantarnya. Masih menempel di benaknya ketika Shasa, kakaknya, dulu waktu SMA pernah diceramahi habis-habisan gara-gara membawa teman cowok ke rumah. Itulah yang sampai kini membuat Ria ragu untuk pacaran.
***
Sebenarnya
Ria ingin mengatakan kejadian menakjubkan yang dialaminya saat ngobrol
di kantin seperti biasanya. Tapi niat itu diurungkannya karena yakin dua
sahabatnya malah tidak akan pernah mempercayainya lagi nanti. Lagipula,
Ria sudah bisa menikmati obrolan soal cowok.
Winta berceloteh tentang Dion yang mulai berani mengantarnya pulang kemarin. Diana memaparkan sifat romantis Restu saat mengajaknya nonton film India terbaru yang dibintangi Shahrukh Khan dan Preity Zinta. Ria tentu aja ngak mau kalah, menceritakan hal yang dialaminya kemarin ditambah sedikit bumbu biar seru.
"Jadi dia anak orang kaya? Ah, masak orang kaya bisa dua kali ketemu lagi naik bis," timpal Winta usai Ria berceloteh.
"Mobilnya lagi ngadat. Nanti dia rencananya mau ngejemput sepulang sekolah. Sekalian ngajak makan-makan," bohong Ria kian kumat.
"Kalo begitu, gue nggak langsung pulang ah nanti. Penasaran pengen lihat gacoan elo itu," kata Winta.
"Gue juga. Kenalin ya!"
Ria gelagapan menanggapinya. Sedetik kemudian terdengar kalimat melengking di belakangnya. Mieke dengan gaya yang centil mendekati tiga sahabat itu sambil membagi-bagi undangan berbentuk dadu.
"Jangan lupa datang hari Sabtu nanti. Syaratnya cuma bawa pasangan. Yang nggak punya pacar, boleh bawa adik atau kakak, asal jangan bawa kambing!" kata Mieke sebelum meninggalkan meja di sudut kantin itu.
Mereka bertiga buru-buru membaca undangan itu. Diana langsung tersenyum karena ia yakin kalo Restu akan mau diajaknya ke pesta, sementara Winta hanya komat-kamit berharap agar Dion nanti akan menawarkan diri menjadi pasangannya, sedangkan Ria masih bingung.
"Elo bakal ngajak si Roy, kan?" tanya Diana. Benaknya sudah membayangkan betapa serunya acara kencan bersama itu nanti.
"Entahlah. Aku nggak tahu dia suka pesta atau nggak."
"Ya, tinggal kamu tanya aja nanti. Uh, rasanya gue nggak sabar menunggu bel pulang. Gimana sih tampang Roy-mu itu!" kata Winta sambil menyuapkan siomai ke mulutnya.
Ria cuma meringis. Ia malah berharap waktu berjalan lambat agar bisa berpikir alasan apa yang dilontarkannya nanti karena sebenarnya Roy memang tidak akan pernah datang. Namun waktu malah berjalan semakin cepat. Dan sewaktu bel pulang berbunyi dada Ria berdetak kian keras. Apalagi Winta dan Diana terus menguntitnya.
Sepuluh menit pertama Diana dan Winta masih berharap cemas mendampingi Ria di pintu gerbang, sepuluh menit berikutnya perut mereka keroncongan dan mulai memaki Ria.
"Coba elo telepon dong ke HP-nya."
"Udah barusan. Tapi nggak aktif."
Sepuluh menit kemudian Winta dan Diana meninggalkan Ria karena sudah tak tahan ingin pulang. Cuma Ria yang tinggal karena dia harus pura-pura tetap menunggu Roy. Dan tiga menit kemudian, sebuah Corona putih tepat di depan Ria.
"Roy!" Ria memekik kaget ketika melihat sosok yang keluar dari dalam mobil. Dia menengok kanan-kiri, siapa tahu Winta dan Diana masih ada. Dengan demikian dua sahabatnya bisa segera tahu bahwa ia kini benar-benar sudah punya gacoan.
"Kupikir aku terlambat menjemputmu," kata Roy sambil mendekati Ria.
"Menjemputku?"
"Kamu kemarin kan memperbolehkan aku jemput kamu sekarang. Dan jangan bilang, kamu juga lupa bahwa siang ini aku janji mentraktirmu makan!"
"Nggak, aku ingat itu!" timpal Ria meski bingung. Semuanya harus kujalani, apa adanya! Tekan Ria. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di sisi Roy.
Ria merasakan saat yang membahagiakan. Inikah yang namanya musim semi? Pantas Diana dan Winta selalu bersemangat tiap hari. Seandainya saja Nenek membolehkanku, Ria membatin.
Saat makan di sebuah restoran Jepang, Ria mengatakan pada Roy soal undangan pesta ulangtahun Mieke. "Aku sendiri sebenarnya nggak begitu suka pesta. Tapi dua sahabatku minta supaya aku datang. Bagaimana menurutmu, Roy?"
"Yang namanya diundang, ya harus datang. Aku nggak keberatan menemani kamu. Berapa hari lagi sih? Oh, lima hari lagi? Kok ngundangnya mepet begini?"
"Sebenarnya undangan lisannya udah dari dua minggu lalu. Oh, iya makasih kalo emang kamu mau nganter aku. Tapi aku...." Ria teringat bayangan Neneknya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa." Ria menengok arlojinya. "Sudah kelamaan nih. Pulang yuk."
Roy mengangguk. Dia mengantar Ria. Tapi Ria menolak Roy mengantar sampai depan rumah. Dia meminta Roy menghentikan mobilnya beberapa rumah sebelumnya. Untung Roy tidak tersinggung dan mau mengerti.
Ria menemukan Neneknya di teras rumah. Dia merasa beruntung karena tadi Roy tidak mengantarnya sampai depan rumah. Ria mendekati Nenek, dan memberi kecupan. Tawa kecil Nenek membuat Ria heran.
"Mengapa nggak kamu suruh temanmu mampir dulu?"
"Ah, Nenek. Ria kan naik bis."
"Jangan bohong. Seragammu bersih dan nggak tercium bau rokok serta keringat seperti biasanya. Mukamu cerah dan langkahmu seperti orang yang habis makan kenyang. Begitu, kan?"
Ria tersipu. Susah memang berbohong pada Neneknya, sekecil apapun.
"Dia pacarmu?"
"Nenek bukannya nggak suka kalo Ria pacaran?"
"Kapan Nenek melarang? Belum pernah."
"Secara langsug memang belum. Tapi Ria masih ingat waktu dulu Nenek marahin pacar Mbak Shasa, padahal Mbak Shasa udah gede."
Nenek tersenyum memamerkan kempot pipinya. "Jadi karena itu kamu takut pacaran? Waktu itu Nenek marah sama Shasa bukan karena dia pacaran, bukan pula karena udah gede atau belum. Tapi apa pantas Shasa pergi dengan seorang cowok sampai larut malam dan tanpa pamit? Pantas nggak?"
Ria menggeleng. Matanya baru terbuka kalau selama ini sebenarnya neneknya tidak melarang ia pacaran. Yang penting asal tahu batas dan aturan!
Winta berceloteh tentang Dion yang mulai berani mengantarnya pulang kemarin. Diana memaparkan sifat romantis Restu saat mengajaknya nonton film India terbaru yang dibintangi Shahrukh Khan dan Preity Zinta. Ria tentu aja ngak mau kalah, menceritakan hal yang dialaminya kemarin ditambah sedikit bumbu biar seru.
"Jadi dia anak orang kaya? Ah, masak orang kaya bisa dua kali ketemu lagi naik bis," timpal Winta usai Ria berceloteh.
"Mobilnya lagi ngadat. Nanti dia rencananya mau ngejemput sepulang sekolah. Sekalian ngajak makan-makan," bohong Ria kian kumat.
"Kalo begitu, gue nggak langsung pulang ah nanti. Penasaran pengen lihat gacoan elo itu," kata Winta.
"Gue juga. Kenalin ya!"
Ria gelagapan menanggapinya. Sedetik kemudian terdengar kalimat melengking di belakangnya. Mieke dengan gaya yang centil mendekati tiga sahabat itu sambil membagi-bagi undangan berbentuk dadu.
"Jangan lupa datang hari Sabtu nanti. Syaratnya cuma bawa pasangan. Yang nggak punya pacar, boleh bawa adik atau kakak, asal jangan bawa kambing!" kata Mieke sebelum meninggalkan meja di sudut kantin itu.
Mereka bertiga buru-buru membaca undangan itu. Diana langsung tersenyum karena ia yakin kalo Restu akan mau diajaknya ke pesta, sementara Winta hanya komat-kamit berharap agar Dion nanti akan menawarkan diri menjadi pasangannya, sedangkan Ria masih bingung.
"Elo bakal ngajak si Roy, kan?" tanya Diana. Benaknya sudah membayangkan betapa serunya acara kencan bersama itu nanti.
"Entahlah. Aku nggak tahu dia suka pesta atau nggak."
"Ya, tinggal kamu tanya aja nanti. Uh, rasanya gue nggak sabar menunggu bel pulang. Gimana sih tampang Roy-mu itu!" kata Winta sambil menyuapkan siomai ke mulutnya.
Ria cuma meringis. Ia malah berharap waktu berjalan lambat agar bisa berpikir alasan apa yang dilontarkannya nanti karena sebenarnya Roy memang tidak akan pernah datang. Namun waktu malah berjalan semakin cepat. Dan sewaktu bel pulang berbunyi dada Ria berdetak kian keras. Apalagi Winta dan Diana terus menguntitnya.
Sepuluh menit pertama Diana dan Winta masih berharap cemas mendampingi Ria di pintu gerbang, sepuluh menit berikutnya perut mereka keroncongan dan mulai memaki Ria.
"Coba elo telepon dong ke HP-nya."
"Udah barusan. Tapi nggak aktif."
Sepuluh menit kemudian Winta dan Diana meninggalkan Ria karena sudah tak tahan ingin pulang. Cuma Ria yang tinggal karena dia harus pura-pura tetap menunggu Roy. Dan tiga menit kemudian, sebuah Corona putih tepat di depan Ria.
"Roy!" Ria memekik kaget ketika melihat sosok yang keluar dari dalam mobil. Dia menengok kanan-kiri, siapa tahu Winta dan Diana masih ada. Dengan demikian dua sahabatnya bisa segera tahu bahwa ia kini benar-benar sudah punya gacoan.
"Kupikir aku terlambat menjemputmu," kata Roy sambil mendekati Ria.
"Menjemputku?"
"Kamu kemarin kan memperbolehkan aku jemput kamu sekarang. Dan jangan bilang, kamu juga lupa bahwa siang ini aku janji mentraktirmu makan!"
"Nggak, aku ingat itu!" timpal Ria meski bingung. Semuanya harus kujalani, apa adanya! Tekan Ria. Dia segera masuk ke dalam mobil, duduk di sisi Roy.
Ria merasakan saat yang membahagiakan. Inikah yang namanya musim semi? Pantas Diana dan Winta selalu bersemangat tiap hari. Seandainya saja Nenek membolehkanku, Ria membatin.
Saat makan di sebuah restoran Jepang, Ria mengatakan pada Roy soal undangan pesta ulangtahun Mieke. "Aku sendiri sebenarnya nggak begitu suka pesta. Tapi dua sahabatku minta supaya aku datang. Bagaimana menurutmu, Roy?"
"Yang namanya diundang, ya harus datang. Aku nggak keberatan menemani kamu. Berapa hari lagi sih? Oh, lima hari lagi? Kok ngundangnya mepet begini?"
"Sebenarnya undangan lisannya udah dari dua minggu lalu. Oh, iya makasih kalo emang kamu mau nganter aku. Tapi aku...." Ria teringat bayangan Neneknya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa." Ria menengok arlojinya. "Sudah kelamaan nih. Pulang yuk."
Roy mengangguk. Dia mengantar Ria. Tapi Ria menolak Roy mengantar sampai depan rumah. Dia meminta Roy menghentikan mobilnya beberapa rumah sebelumnya. Untung Roy tidak tersinggung dan mau mengerti.
Ria menemukan Neneknya di teras rumah. Dia merasa beruntung karena tadi Roy tidak mengantarnya sampai depan rumah. Ria mendekati Nenek, dan memberi kecupan. Tawa kecil Nenek membuat Ria heran.
"Mengapa nggak kamu suruh temanmu mampir dulu?"
"Ah, Nenek. Ria kan naik bis."
"Jangan bohong. Seragammu bersih dan nggak tercium bau rokok serta keringat seperti biasanya. Mukamu cerah dan langkahmu seperti orang yang habis makan kenyang. Begitu, kan?"
Ria tersipu. Susah memang berbohong pada Neneknya, sekecil apapun.
"Dia pacarmu?"
"Nenek bukannya nggak suka kalo Ria pacaran?"
"Kapan Nenek melarang? Belum pernah."
"Secara langsug memang belum. Tapi Ria masih ingat waktu dulu Nenek marahin pacar Mbak Shasa, padahal Mbak Shasa udah gede."
Nenek tersenyum memamerkan kempot pipinya. "Jadi karena itu kamu takut pacaran? Waktu itu Nenek marah sama Shasa bukan karena dia pacaran, bukan pula karena udah gede atau belum. Tapi apa pantas Shasa pergi dengan seorang cowok sampai larut malam dan tanpa pamit? Pantas nggak?"
Ria menggeleng. Matanya baru terbuka kalau selama ini sebenarnya neneknya tidak melarang ia pacaran. Yang penting asal tahu batas dan aturan!
***
Tidak ada berita yang paling menggembirakan bagi
Winta dan Diana ketika Ria menyampaikan bahwa ia akan pergi bersama Roy
ke pesta Mieke. Berarti tiga sahabat itu bisa bepergian bareng tanpa
mengorbankan perasaan satu orang pun.
"Jadi Roy tuh kemaren telat jemput elo? Ih, gara-gara Winta nggak sabaran sih."
"Yeee, kok gue sih yang disalahin."
"Roy ada rencana jemput elo lagi nggak sih?"
Ria menggeleng. Takut kejadian kemaren terulang lagi. "Lagian gengsi banget minta dijemput mulu," kilah Ria walau sebearnya dia berharap lain.
Ya, pulang sekolah Ria sengaja naik patas AC lagi. Siapa tau bisa ketemu dia lagi, harapnya. Pikirannya menerawang, mengingat Roy. Baru dua kali ketemu Ria merasa ada yang lain di hatinya. Aih, cepat banget sih?
Mudah-mudahan nanti dia nelepon, harapnya. Ria menyesal HP-nya rusak karea kerendam cucian tadi pagi.
Waktu berlalu cepat ketika Ria mengharapkan keajaiban muncul. Tapi tidak ada telepon dari Roy maupun kemunculan surpraisnya. Ria mendadak merasa dadanya terhimpit. Sementara wajah Roy makin melekat di benaknya.
Roy-Roy-Roy.... Kamu di mana sih?
"Jadi Roy tuh kemaren telat jemput elo? Ih, gara-gara Winta nggak sabaran sih."
"Yeee, kok gue sih yang disalahin."
"Roy ada rencana jemput elo lagi nggak sih?"
Ria menggeleng. Takut kejadian kemaren terulang lagi. "Lagian gengsi banget minta dijemput mulu," kilah Ria walau sebearnya dia berharap lain.
Ya, pulang sekolah Ria sengaja naik patas AC lagi. Siapa tau bisa ketemu dia lagi, harapnya. Pikirannya menerawang, mengingat Roy. Baru dua kali ketemu Ria merasa ada yang lain di hatinya. Aih, cepat banget sih?
Mudah-mudahan nanti dia nelepon, harapnya. Ria menyesal HP-nya rusak karea kerendam cucian tadi pagi.
Waktu berlalu cepat ketika Ria mengharapkan keajaiban muncul. Tapi tidak ada telepon dari Roy maupun kemunculan surpraisnya. Ria mendadak merasa dadanya terhimpit. Sementara wajah Roy makin melekat di benaknya.
Roy-Roy-Roy.... Kamu di mana sih?
***
Penyakit memang tidak pernah diundang datangnya.
Pagi setelah hari yang dilalui Ria. Tanpa Roy, Ria terbaring sakit.
Entah apa sebabnya. Malah sampai tiga hari kemudian Ria masih terbaring
sakit. Seperti biasa Diana dan Winta kembali menjenguk Ria di siang
hari. Sekalian mengabarkan, sebagai tanda solidaritas mereka akan
membatalkan rencana ke pesta ulangtahun Mieke nanti malam.
"Gue nggak mungkin ke pesta itu sementara elo terbaring sakit seperti ini," papar Winta.
"Jangan bodoh. Gacoan kalian pasti nggak suka ini. Mereka akan menyumpahi penyakit gue tambah parah."
Winta memandang Diana. "Hal ini juga sekalian menunjukkan rasa penyesalan gue karena selama ini nggak mengerti perasaan elo," timpal Diana.
"Apa maksud kalian?" tanya Ria. Kepalanya yang pusing semakin bingung.
"Tentang Dion dan Restu. Mestinya kami tahu diri nggak cerita tentang mereka di depan elo. Hingga akhirnya elo harus berbohong."
"Win, sederhanain kalimat elo!"
Winta menghela napas. "Ayolah, Ria, elo harus jujur bahwa elo nggak suka kalo gue sama Diana bicara soal cowok-cowok itu karena elo nggak punya seorang cowok yang harus elo bicarain. Lalu elo ngarang tentang Roy untuk menutupi kejengkelan elo itu."
"Pada mulanya memang gue berbohong, kemudian dia muncul, Roy memang ada."
"Tapi mana dia? Emang elo pernah bisa menghadirkannya di depan gue berdua? Bahkan sudah tiga hari elo terbaring sakit, dia nggak muncul-muncul?" desak Winta disusul Diana. Mereka yakin betul, penyakit yang dialami Ria pun gara-gara tekanan tidak punya pasangan untuk ke pesta ulangtahun Mieke.
Ria menggigit bibirnya. Pertanyaan itu juga muncul di benaknya. Mengapa Roy nggak datang-datang juga? Semakin dipikir kian membuat dirinya tak berdaya. Ria menggamit tangan Winta. Isaknya terdengar pelan. "Mungkin dia sedang ke luar negeri ya, Win," katanya menghibur diri, sekaligus menjaga agar tangisnya nggak jatuh.
Diana mengelus rambut Ria. Sejak semula dia sudah menduga cerita Ria tentang Roy cuma isapan jempol belaka. Tapi ia tak mau menggubris. Cuma kalau jadinya Ria seperti ini, tentu saja sebagai sahabat dia tidak tega.
"Tapi dia seperti benar-benar ada. Tawanya, ucapannya dan semuanya masih kuingat di kepalaku," sambung Ria.
Diana mengibaskan tangannya. "Elo harus lupain itu semua. Barangkali sosok Roy sebenarnya cuma kekasih fantasi aja. Itu lho, tentu elo masih ingat waktu kita kecil dulu punya teman fantasi yang seolah-olah ada menemani kita saat sendirian. Kayaknya Si Roy makhluk semacam itu yang hadir karena tekanan kesendirian elo, Ria," ujar Diana mencoba membagi pengetahuan yang ia miliki.
Ria termangu. Mungkin dua sahabatnya benar. Dia harus melupakan Roy yang sesungguhnya tidak pernah ada itu.
"Biar elo nggak ngehayal lagi, nanti akan gue bantu deh nyari cowok buat pasangan elo. Sebut aja, mau Peter, Gino atau Oding?"
"Win, elo tuh kalo nawarin orang seenaknya. Memangnya gampang. Belum tentu dianya mau sama gue."
"Ya, namanya juga usaha. Asal jangan Delon aja. Soalnya gue juga ngejar-ngejar dia."
Pintu kamar diketuk sebentar, lalu muncul Nenek membawa baki berisi dua gelas jus segar untuk Winta dan Diana. Nenek juga menyodorkan faksimili.
"Dari Singapura," kata Nenek sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar.
Ria buru-buru mrmbaca kertas surat tersebut.
"Gue nggak mungkin ke pesta itu sementara elo terbaring sakit seperti ini," papar Winta.
"Jangan bodoh. Gacoan kalian pasti nggak suka ini. Mereka akan menyumpahi penyakit gue tambah parah."
Winta memandang Diana. "Hal ini juga sekalian menunjukkan rasa penyesalan gue karena selama ini nggak mengerti perasaan elo," timpal Diana.
"Apa maksud kalian?" tanya Ria. Kepalanya yang pusing semakin bingung.
"Tentang Dion dan Restu. Mestinya kami tahu diri nggak cerita tentang mereka di depan elo. Hingga akhirnya elo harus berbohong."
"Win, sederhanain kalimat elo!"
Winta menghela napas. "Ayolah, Ria, elo harus jujur bahwa elo nggak suka kalo gue sama Diana bicara soal cowok-cowok itu karena elo nggak punya seorang cowok yang harus elo bicarain. Lalu elo ngarang tentang Roy untuk menutupi kejengkelan elo itu."
"Pada mulanya memang gue berbohong, kemudian dia muncul, Roy memang ada."
"Tapi mana dia? Emang elo pernah bisa menghadirkannya di depan gue berdua? Bahkan sudah tiga hari elo terbaring sakit, dia nggak muncul-muncul?" desak Winta disusul Diana. Mereka yakin betul, penyakit yang dialami Ria pun gara-gara tekanan tidak punya pasangan untuk ke pesta ulangtahun Mieke.
Ria menggigit bibirnya. Pertanyaan itu juga muncul di benaknya. Mengapa Roy nggak datang-datang juga? Semakin dipikir kian membuat dirinya tak berdaya. Ria menggamit tangan Winta. Isaknya terdengar pelan. "Mungkin dia sedang ke luar negeri ya, Win," katanya menghibur diri, sekaligus menjaga agar tangisnya nggak jatuh.
Diana mengelus rambut Ria. Sejak semula dia sudah menduga cerita Ria tentang Roy cuma isapan jempol belaka. Tapi ia tak mau menggubris. Cuma kalau jadinya Ria seperti ini, tentu saja sebagai sahabat dia tidak tega.
"Tapi dia seperti benar-benar ada. Tawanya, ucapannya dan semuanya masih kuingat di kepalaku," sambung Ria.
Diana mengibaskan tangannya. "Elo harus lupain itu semua. Barangkali sosok Roy sebenarnya cuma kekasih fantasi aja. Itu lho, tentu elo masih ingat waktu kita kecil dulu punya teman fantasi yang seolah-olah ada menemani kita saat sendirian. Kayaknya Si Roy makhluk semacam itu yang hadir karena tekanan kesendirian elo, Ria," ujar Diana mencoba membagi pengetahuan yang ia miliki.
Ria termangu. Mungkin dua sahabatnya benar. Dia harus melupakan Roy yang sesungguhnya tidak pernah ada itu.
"Biar elo nggak ngehayal lagi, nanti akan gue bantu deh nyari cowok buat pasangan elo. Sebut aja, mau Peter, Gino atau Oding?"
"Win, elo tuh kalo nawarin orang seenaknya. Memangnya gampang. Belum tentu dianya mau sama gue."
"Ya, namanya juga usaha. Asal jangan Delon aja. Soalnya gue juga ngejar-ngejar dia."
Pintu kamar diketuk sebentar, lalu muncul Nenek membawa baki berisi dua gelas jus segar untuk Winta dan Diana. Nenek juga menyodorkan faksimili.
"Dari Singapura," kata Nenek sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar.
Ria buru-buru mrmbaca kertas surat tersebut.
Dearest Ria,
Maaf, aku nggak bisa memenuhi janji mengantarmu ke pesta ulangtahun itu. Kami sekeluarga harus segera pergi ke Berlin. Ada keluarga kami yang meninggal di sana. Surat ini kutulis di pesawat dan kukirim saat transit di Singapura. O, iya HP aku ilang kemarin lusa. Jadi nggak bisa telepon kamu dulu. Tapi waktu aku coba hubungin HP kamu pake HP nyokap, kok mailbox mulu. Tetaplah menungguku. Aku menyayangimu.
Yours,
Roy
Ria terbelalak mengetahui isi surat di tangannya.
Dia buru-buru menyodorkannya pada Winta dan Diana. Dua sahabat itu
tercengang kaget melebihi Ria. Jadi mana yang benar, Roy itu ada atau
nggak? Maaf, aku nggak bisa memenuhi janji mengantarmu ke pesta ulangtahun itu. Kami sekeluarga harus segera pergi ke Berlin. Ada keluarga kami yang meninggal di sana. Surat ini kutulis di pesawat dan kukirim saat transit di Singapura. O, iya HP aku ilang kemarin lusa. Jadi nggak bisa telepon kamu dulu. Tapi waktu aku coba hubungin HP kamu pake HP nyokap, kok mailbox mulu. Tetaplah menungguku. Aku menyayangimu.
Yours,
Roy
"Elo nggak nyuruh sodara elo di Singapura ngirim surat palsu ini, kan?" selidik Winta.
"Gue nggak punya teman ataupun saudara di sana." Ria menggeleng kuat. Matanya menerawang ke langit-langit dengan bibir menyungging senyum.
Kali ini keyakinan Ria berubah lagi. Bukankah surat itu sudah cukup membuktikan, Roy kekasihnya memang benar-benar ada, bukan kekasih bayangan atau fantasi. Masih adakah yang meragukan hal itu? ©
BIODATA PENULIS
Benny Rhamdani,
lahir di Bandung. Ia merupakan penulis senior, yang karyanya sudah tak
terbilang jumlahnya, yang telah diterbitkan oleh berbagai media cetak
nasional. Ia juga merupakan salah satu penulis cerita remaja yang paling
banyak menjuarai LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang.
Novelnya pun sudah banyak diterbitkan oleh berbagai penerbit nasional di
Bandung dan Jakarta. Kini ia menjabat sebagai Editor in Chief pada Penerbit Mizan Publishing di Bandung.by http://www.cafenovel.com/shortstory_kekasihbayangan.php
0 komentar:
Posting Komentar