Setiap manusia memiliki peri di hati.
Peri yang bernama cinta itu tulus menemani.
Ia akan menangis dan tertawa bersama kita.
(Effendy Wongso)
Peri yang bernama cinta itu tulus menemani.
Ia akan menangis dan tertawa bersama kita.
(Effendy Wongso)
Dulu ketika nenekku masih ada, nggak pernah kulewatkan malam-malam tanpa
dongengnya. Yang paling kusuka kalau ceita itu ada tokoh peri-nya.
Sayangnya nenekku nggak pernah bisa menjelaskan mengapa peri-peri itu
harus perempuan.
"Sudah dari sananya, Sisi. Lagian kalau lelaki namanya pasti bukan Peri, mungkin Parjo," kata Nenek.
"Ah, Nenek!" seruku tak puas. Sampai akhirnya Nenek meninggal, aku belum menemukan jawaban yang pas.
Di bangku kelas empat SD baru kutemukan sosok peri lelaki. Mmm, sebenarnya dia juga manusia. Cuma suatu hari aku lupa bahwa saat itu ada tugas menggambar. Sampai di kelas buru-buru kukerjakan. Sebenarnya aku nggak begitu bisa karena Pak Minto mewajibkan murid perempuan menggambar bunga. Sampai tanda bel masuk berbunyi, aku masih belum yakin dengan apa yang telah kugambar.
Pak Minto meminta kami mengumpulkan tugas.
Dadaku dak-dik-duk sewaktu ia mulai memeriksa gambar-gambar di depannya. Hening, Pak Guru yang berkumis lebat itu berkerut tak lama kemudian.
"Sisilia! Apa yang kamu gambar ini?" teriaknya kemudian.
"Bunga, Pak," jawabku langsung.
Pak Minto mengangkat buku gambarku dan menunjukkan karya besarku itu ke depan teman-temanku. "Ayo siapa yang tahu bahwa gambar ini bunga?" tanya Pak Minto.
Tahu-tahu sebentuk lengan diangkat dari bangku belakang.
"Primadi! Ya, bunga apa ini?"
"Bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut!"
Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Tapi Pak Minto malah semakin marah. Ia kemudian menyuruh aku dan Primadi berdiri di sudut kelas selama pelajaran menggambar. Pertolongan Primadi memang nggak besar, hanya menemaniku dihukum di depan kelas. Tapi itu sudah jadi cukup alasan untuk kemudian aku memanggil dan menganggapnya sesosok Peri.
Meski mulanya ia nggak suka, tapi akhirnya mau juga. Apalagi ketika anak-anak lain juga memanggil sama sepertiku. Dan nama panggilannya semula, yakni Jabrik, sudah terlupakan. Lagian rambutnya memang sudah dikeriting.
Peri pertamaku ternyata tak bertahan selamanya. Saat kenaikan ke kelas enam, ia pindah entah ke mana. Kalau nggak salah ke London mengikuti ayahnya yang harus tugas di sana. Sebulan kemudian aku sakit parah. Bukan karena ditinggal Peri, tapi kata Dokter ginjalku rusak. Saking lamanya aku dirawat, aku terpaksa mengulang sekolahku di kelas enam sementara teman-temanku masuk SMP. Tapi yang sempat menghiburku, aku menemukan Peri yang kedua.
Sore itu hari pertamaku di ruang rawat. Seorang anak perempuan yang semula terbaring di sebelah tempat tidurku tahu-tahu meloncat ke sebelahku. Rambutnya yang tipis dan rontok hampir menakutkanku kalau saja ia tak buru-buru tersenyum manis.
"Kamu mau ikutan main denganku?" tanyanya. Matanya bergerak nakal.
"Main? Main apa?"
"Pokoknya rame. Begini, sebentar lagi akan datang suster memeriksa kita. Nah, pas giliran aku dimasuki termometer, kamu harus memanggilnya dan mengajak bicara selama mungkin. Sanggup?"
Aku hanya mengangguk. Sepuluh menit kemudian datang suster memeriksa enam anak yang satu ruangan denganku. Setelah suster itu memasukkan termometer ke dalam mulut anak perempuan itu aku langsung memanggil suster itu. Kukeluhkan sedikit perutku. Ia memeriksa dan menghiburku. Setelah kurasa cukup, ia membalik ke arah anak perempuan itu.
Sedetik kemudian aku melihat wajah sang suster pucat dengan mulut menganga. Ia kemudian buru-buru meninggalkan kami. Aku baru tahu apa yang terjadi kemudian. Ternyata anak perempuan itu punya termometer yang sama dengan suster tadi. Termometernya ia masukkan ke dalam air panas yang sudah ia siapkan. Saat suster itu membalikkan badannya ia menukar termometer di mulutnya dengan miliknya. Pantas saja kalau suster tadi kaget karena melihat suhu yang tertera di atas normal.
Ia lantas menyebutkan namanya Peni. "Tapi kamu boleh memanggilku apa saja. Di sini para suster memanggilku si Bandel, ada juga yang memanggilku Botak," katanya.
"Bagaimana kalau kamu kupanggil Peri saja. Aku suka nama itu."
"Boleh saja. Karena kamu menambahkan huruf R di namaku, aku juga akan menambahkannya di namamu. Aku akan memanggilmu Sisir. Hehehe...."
Kebandelan peri yang kedua ini ternyata jauh melebih kebandelan anak cowok yang pernah kutahu. Ia bahkan pernah membawa seekor kecoa dari toilet lalu melepaskannya di pundak suster yang datang. Tentu saja suster itu jadi meloncat-loncat kegelian dengan wajah pucat. Di balik itu, peri juga cukup baik dengan sesama teman di ruangan. Ia suka membagikan buah-buahan di mejanya terutama untuk Wanda yang sepertinya jarang dibesuk.
Dua minggu dirawat jadi tak terasa. Sampai suatu pagi saat aku terbangun, aku nggak melihat Peri di ranjangnya. Setelah diberitahu Peri meninggal dunia semalam, aku menangis seharian. Aku benar-benar kehilangan dia. Papa akhirnya memindahkan aku ke ruang lain agar nggak membuat sakitku bertambah parah.
Masuk bangku SMP aku kembali mencari-cari orang yang bisa kujadikan Peri ketigaku. Akhirnya kudapatkan ketika aku mengikuti kegiatan paduan suara di sekolah. Namanya Ferry, tapi ia tak keberatan ketika kupanggil Peri.
Ia banyak menolongku mengajarkan cara bernyanyi yang baik, juga bahasa Inggris. Bahkan ia mau saja menemaniku ke mana pun, walau misalkan pada acara yang anak lelakinya hanya dia. Aku nggak tahu mengapa ia begitu baik, sementara aku belum pernah menghitung kebaikanku.
Cuma belakangan aku melihat kejanggalan yang tak kumengerti. Peri ketigaku ini sering ngobrol dengan teman-teman cewek yang lain soal teman-teman cowok yang ganteng. Dia juga pernah setengah memaksa meminta foto abangku ketika main ke rumahku. Karenanya, aku terpaksa meninggalkannya. Lagi pula ia mulai akrab dengan Eko, anak lelaki yang cara dan jalannya itu mengingatkanku pada seekor bebek.
Sejak itu aku agak selektif memilih calon-calon Peri-ku. Bahkan di bangku SMA aku nggak menemukannya sama sekali. Sekali cowok bernama Ferdi mendekatiku dan menyatakan ingin memacariku.
"Boleh saja, tapi kamu harus mau kupanggil Peri," kataku memberi syarat.
Mulanya ia menyetujui. Tapi ketika aku mulai memanggilnya dengan nama itu di depan teman-teman dan keluarganya, ia mulai menjauhiku. Ah, biarin aja. Aku yakin kok suatu saat nanti akan benar-benar hadir sosok Peri di hadapanku.
"Sudah dari sananya, Sisi. Lagian kalau lelaki namanya pasti bukan Peri, mungkin Parjo," kata Nenek.
"Ah, Nenek!" seruku tak puas. Sampai akhirnya Nenek meninggal, aku belum menemukan jawaban yang pas.
Di bangku kelas empat SD baru kutemukan sosok peri lelaki. Mmm, sebenarnya dia juga manusia. Cuma suatu hari aku lupa bahwa saat itu ada tugas menggambar. Sampai di kelas buru-buru kukerjakan. Sebenarnya aku nggak begitu bisa karena Pak Minto mewajibkan murid perempuan menggambar bunga. Sampai tanda bel masuk berbunyi, aku masih belum yakin dengan apa yang telah kugambar.
Pak Minto meminta kami mengumpulkan tugas.
Dadaku dak-dik-duk sewaktu ia mulai memeriksa gambar-gambar di depannya. Hening, Pak Guru yang berkumis lebat itu berkerut tak lama kemudian.
"Sisilia! Apa yang kamu gambar ini?" teriaknya kemudian.
"Bunga, Pak," jawabku langsung.
Pak Minto mengangkat buku gambarku dan menunjukkan karya besarku itu ke depan teman-temanku. "Ayo siapa yang tahu bahwa gambar ini bunga?" tanya Pak Minto.
Tahu-tahu sebentuk lengan diangkat dari bangku belakang.
"Primadi! Ya, bunga apa ini?"
"Bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut!"
Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Tapi Pak Minto malah semakin marah. Ia kemudian menyuruh aku dan Primadi berdiri di sudut kelas selama pelajaran menggambar. Pertolongan Primadi memang nggak besar, hanya menemaniku dihukum di depan kelas. Tapi itu sudah jadi cukup alasan untuk kemudian aku memanggil dan menganggapnya sesosok Peri.
Meski mulanya ia nggak suka, tapi akhirnya mau juga. Apalagi ketika anak-anak lain juga memanggil sama sepertiku. Dan nama panggilannya semula, yakni Jabrik, sudah terlupakan. Lagian rambutnya memang sudah dikeriting.
Peri pertamaku ternyata tak bertahan selamanya. Saat kenaikan ke kelas enam, ia pindah entah ke mana. Kalau nggak salah ke London mengikuti ayahnya yang harus tugas di sana. Sebulan kemudian aku sakit parah. Bukan karena ditinggal Peri, tapi kata Dokter ginjalku rusak. Saking lamanya aku dirawat, aku terpaksa mengulang sekolahku di kelas enam sementara teman-temanku masuk SMP. Tapi yang sempat menghiburku, aku menemukan Peri yang kedua.
Sore itu hari pertamaku di ruang rawat. Seorang anak perempuan yang semula terbaring di sebelah tempat tidurku tahu-tahu meloncat ke sebelahku. Rambutnya yang tipis dan rontok hampir menakutkanku kalau saja ia tak buru-buru tersenyum manis.
"Kamu mau ikutan main denganku?" tanyanya. Matanya bergerak nakal.
"Main? Main apa?"
"Pokoknya rame. Begini, sebentar lagi akan datang suster memeriksa kita. Nah, pas giliran aku dimasuki termometer, kamu harus memanggilnya dan mengajak bicara selama mungkin. Sanggup?"
Aku hanya mengangguk. Sepuluh menit kemudian datang suster memeriksa enam anak yang satu ruangan denganku. Setelah suster itu memasukkan termometer ke dalam mulut anak perempuan itu aku langsung memanggil suster itu. Kukeluhkan sedikit perutku. Ia memeriksa dan menghiburku. Setelah kurasa cukup, ia membalik ke arah anak perempuan itu.
Sedetik kemudian aku melihat wajah sang suster pucat dengan mulut menganga. Ia kemudian buru-buru meninggalkan kami. Aku baru tahu apa yang terjadi kemudian. Ternyata anak perempuan itu punya termometer yang sama dengan suster tadi. Termometernya ia masukkan ke dalam air panas yang sudah ia siapkan. Saat suster itu membalikkan badannya ia menukar termometer di mulutnya dengan miliknya. Pantas saja kalau suster tadi kaget karena melihat suhu yang tertera di atas normal.
Ia lantas menyebutkan namanya Peni. "Tapi kamu boleh memanggilku apa saja. Di sini para suster memanggilku si Bandel, ada juga yang memanggilku Botak," katanya.
"Bagaimana kalau kamu kupanggil Peri saja. Aku suka nama itu."
"Boleh saja. Karena kamu menambahkan huruf R di namaku, aku juga akan menambahkannya di namamu. Aku akan memanggilmu Sisir. Hehehe...."
Kebandelan peri yang kedua ini ternyata jauh melebih kebandelan anak cowok yang pernah kutahu. Ia bahkan pernah membawa seekor kecoa dari toilet lalu melepaskannya di pundak suster yang datang. Tentu saja suster itu jadi meloncat-loncat kegelian dengan wajah pucat. Di balik itu, peri juga cukup baik dengan sesama teman di ruangan. Ia suka membagikan buah-buahan di mejanya terutama untuk Wanda yang sepertinya jarang dibesuk.
Dua minggu dirawat jadi tak terasa. Sampai suatu pagi saat aku terbangun, aku nggak melihat Peri di ranjangnya. Setelah diberitahu Peri meninggal dunia semalam, aku menangis seharian. Aku benar-benar kehilangan dia. Papa akhirnya memindahkan aku ke ruang lain agar nggak membuat sakitku bertambah parah.
Masuk bangku SMP aku kembali mencari-cari orang yang bisa kujadikan Peri ketigaku. Akhirnya kudapatkan ketika aku mengikuti kegiatan paduan suara di sekolah. Namanya Ferry, tapi ia tak keberatan ketika kupanggil Peri.
Ia banyak menolongku mengajarkan cara bernyanyi yang baik, juga bahasa Inggris. Bahkan ia mau saja menemaniku ke mana pun, walau misalkan pada acara yang anak lelakinya hanya dia. Aku nggak tahu mengapa ia begitu baik, sementara aku belum pernah menghitung kebaikanku.
Cuma belakangan aku melihat kejanggalan yang tak kumengerti. Peri ketigaku ini sering ngobrol dengan teman-teman cewek yang lain soal teman-teman cowok yang ganteng. Dia juga pernah setengah memaksa meminta foto abangku ketika main ke rumahku. Karenanya, aku terpaksa meninggalkannya. Lagi pula ia mulai akrab dengan Eko, anak lelaki yang cara dan jalannya itu mengingatkanku pada seekor bebek.
Sejak itu aku agak selektif memilih calon-calon Peri-ku. Bahkan di bangku SMA aku nggak menemukannya sama sekali. Sekali cowok bernama Ferdi mendekatiku dan menyatakan ingin memacariku.
"Boleh saja, tapi kamu harus mau kupanggil Peri," kataku memberi syarat.
Mulanya ia menyetujui. Tapi ketika aku mulai memanggilnya dengan nama itu di depan teman-teman dan keluarganya, ia mulai menjauhiku. Ah, biarin aja. Aku yakin kok suatu saat nanti akan benar-benar hadir sosok Peri di hadapanku.
***
Siapa bilang perploncoan di bumi Indonesia ini sudah dihapuskan?
Aneh, kok masih bertahan juga sih, sisa-sisa peninggalan kolonial di sini. Seperti yang kualami kini. Setelah masa orientasi kampus yang melelahkan, para mahasiswa baru diminta ikut perkemahan yang diadakan himpunan jurusan. Ancaman bagi yang nggak ikut cukup menakutkan. Akan dikucilkan! Nggak boleh ikut kegiatan himpunan yang spektakuler sekalipun, bahkan nggak boleh ngobrol dengan senior.
Terpaksa aku ikut. Meski aku mendengar dari senior lain bahwa perploncoan himpunan mahasiswa jurusan Jurnalistik adalah yang paling sadis di fakultas Komunikasi.
"Ya, turun semua! Istirahat sepuluh menit! Jangan ada yang cengengesan!" Seorang senior perempuan berteriak ketika truk yang ditumpangi empatpuluh lima mahasiswa baru berhenti di sebuah perkebunan teh.
Aku turun seperti yang lainnya. Kubuka botol air mineral dari ranselku. Baru seteguk air kurasa, tahu-tahu suara jeritan terdengar keras di dekatku.
"Heh, siapa yang suruh kamu minum? Cepat berdiri dan pergi menghadap Tatib di sana!" Senior bawel itu menghardikku.
Aku berdiri tanpa bisa protes dan berjalan mencari senior yang bertanda khusus. Aturan mainnya memang telah ditetapkan, yang menghukum cuma senior dari bagian tata tertib. Akhirnya kudapatkan juga senior mengenakan pita merah di lengan bajunya yang tengah berdiri sendiri.
"Maaf, Kak, saya diminta menghadap karena kesalahan saya," kataku tanpa berani menatapnya.
"Apa kesalahan kamu?" Suara itu terdengar menggelegar.
"Minum sebelum waktunya."
"Bagus. Siapa nama kamu?"
"Sisilia."
"Siapa? Sisilia?"
Kulihat di melotot ke arahku. Entah hukuman seberat apa yang akan ia berikan setelah mendengar namaku.
"Kamu tahu siapa saya?" tanyanya kemudian.
"Tahu. Kakak dari bagian Tatib."
"Bego kamu! Maksudnya nama saya!" Suaranya makin meninggi.
Aku mencoba mengamatinya sekilas. Rasanya aku nggak melihat senior satu ini ketika pegarahan kemarin.
"Lihat muka saya! Perhatikan!"
Aku mengamati mukanya. Rahangnya yang kukuh, hidungnya, matanya, dan... kok yang muncul malah nama Justin Timberlake. Tapi nggak mungkin Justin membentakku dalam bahasa Indonesia.
"Ya, sudah kalau nggak mengenal. Kali ini kamu lolos dari hukuman. Tapi kalau nanti menghadap lagi masih belum kenal saya juga... awas!"
"Terima kasih, Kak!" Aku langsung berbalik lega. Buru-buru aku ke kelompokku. Rasanya masih ada waktu untuk istirahat beberapa menit.
"Diapain kamu tadi?" tanya Arni yang dekat denganku sejak penataran.
"Nggak diapa-apain. Kamu lihat sendiri dari sini, kan? Cuma aku disuruh nyari tahu namanya. Padahal dia kan nggak datang di acara kemarin, jelas aku nggak tahu namanya."
"Jadi kamu benar-benar nggak tahu namanya? Ya, ampun kamu tuh kuper banget sih. Dia kan Kemal, mantan coverboy empat tahun lalu. Cukup sering lho dia mejeng di majalah. Malah sempat main sinetron. Kamu tahu Winda yang dari Sukabumi itu. Nah, dia malah pengen kuliah di jurusan ini gara-gara ngefans berat sama Kemal," jelas Arni panjang lebar.
Aku ternganga. Oh, jadi dia coverboy. Pantas lagaknya macam begitu. Tapi apa iya sih cuma karena dia coverboy dan pernah main sinetron semua orang harus tahu namanya. Bagaimana dengan aku yang cuma hobi baca komik Asterix dan nonton film Hollywood? Benar-benar keterlaluan!
Belum reda rasa gusarku, para senior sudah menyuruh bersiap-siap untuk melakukan perjalanan melintasi dua bukit sebelum sampai ke lokasi perkemahan. Entah sengaja atau nggak, dalam perjalanan beberapa kali aku melihat Kemal tengah memandang ke arahku. Mungkin dia tengah merencanakan hukuman paling memalukan untukku kelak.
Karenanya, aku berusaha untuk nggak membuat kesalahan sekecil apapun lagi. Tapi dasar sial, tengah malam ketika diadakan pemeriksaan perbekalan, aku ketiban sial. Lilin yang kubawa patah meski aku sudah menyimpannya hati-hati.
"Kamu ke pos satu dan beritahu kesalahanmu!"
Buru-buru aku berlari sebelum dibentak kasar. Pos satu yang kucari tak jauh dan betapa kagetnya aku ketika melihat siapa senior yang sudah menungguku.
"Lagi-lagi kamu! Nah sekarang pasti kamu sudah tahu siapa saya. Kalau benar, kamu nggak akan dihukum...."
"Nama Kakak... Kemal."
"Cuma itu?"
"Kakak pernah jadi coverboy, juga main sinetron."
"Ada yang lain?"
Oh, apalagi yang kutahu? Mestinya aku tadi bertanya banyak pada Arni.
"Kamu benar-benar keterlaluan. Tutup matamu dengan ini," katanya sambil memberikan slayer. Aku segera mengikatnya hingga menutup mataku. Tanganku kemudian ditariknya dengan kasar hingga aku harus berlari mengikutinya. Entah berapa jauh aku berlari, tapi mendengar teriakan-teriakan sekitarku, aku yakin bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini.
"Sekarang buka slayernya!"
Aku menuruti kalimat itu. Kulihat ia masih berdiri di depanku. Setelah berlari tadi kurasa tubuhku sedikit hangat, tapi aku nggak tahu berada di mana kini karena di sekitarku hanya ada pohon teh.
"Apa kamu sekarang bisa mengenaliku?" tanyanya bersiteguh.
Aku tetap menggeleng. Rasanya aku benar-benar tersiksa.
"Bagaimana kalau kusebutkan 'bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut', kamu ingat?"
Aku mengerutkan dahiku. Rasanya nggak percaya mendengar kembali kalimat yang dulu pernah kudengar. Jadi....
"Kamu Peri, hm maksudku Primadi. Tapi kamu kan Kemal...." Aku terbata-bata.
"Kemal Primadi. Tapi dulu selalu menyingkat nama depanku. Lagian orang lebih senang memanggilku Jabrik, sampai kemudian kamu memanggilku Peri.... Oh, syukurlah kamu sekarang sudah mengingatku. Bertahun-tahun aku mencari kamu. Bahkan aku ikutan coverboy dengan harapan kamu kemudian bisa mengenalku dan menyuratiku. Tapi nggak ada. Tahu nggak, setelah pisah dengan kamu, aku selalu berusaha mencari penggantimu, dengan syarat bernama Sisil. Tapi nggak ada yang seperti kamu."
Aku tersenyum. "Sekarang setelah ketemu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku ingin kita bisa dekat lagi seperti dulu. Bahkan kalau bisa.... Eh, ada senior yang datang.... Jadi itu kesalahanmu! AYO TUTUP MATAMU!"
Aku terpaksa menahan tawa mendengar nada suaranya yang tiba-tiba meninggi itu. Aku nggak peduli lagi bagaimana Peri yang pertama singgah dalam hidupku ini mengajakku berlari kembali menuju perkemahan. Aku gembira tanpa bisa kujelaskan bentuknya.
Dan perploncoan ini jadi nggak terlalu mengerikan buatku. Apalagi Kemal, eh Peri sempat berbisik tadi, "Kalau kena hukuman cepat cari aku biar kamu nggak sampai dimacam-macamin yang lain!"
Hihihi, curang sebenarnya. Tapi biar bagaimana juga, tugas seorang Peri di mana pun memang harus menolong sih! ©
Aneh, kok masih bertahan juga sih, sisa-sisa peninggalan kolonial di sini. Seperti yang kualami kini. Setelah masa orientasi kampus yang melelahkan, para mahasiswa baru diminta ikut perkemahan yang diadakan himpunan jurusan. Ancaman bagi yang nggak ikut cukup menakutkan. Akan dikucilkan! Nggak boleh ikut kegiatan himpunan yang spektakuler sekalipun, bahkan nggak boleh ngobrol dengan senior.
Terpaksa aku ikut. Meski aku mendengar dari senior lain bahwa perploncoan himpunan mahasiswa jurusan Jurnalistik adalah yang paling sadis di fakultas Komunikasi.
"Ya, turun semua! Istirahat sepuluh menit! Jangan ada yang cengengesan!" Seorang senior perempuan berteriak ketika truk yang ditumpangi empatpuluh lima mahasiswa baru berhenti di sebuah perkebunan teh.
Aku turun seperti yang lainnya. Kubuka botol air mineral dari ranselku. Baru seteguk air kurasa, tahu-tahu suara jeritan terdengar keras di dekatku.
"Heh, siapa yang suruh kamu minum? Cepat berdiri dan pergi menghadap Tatib di sana!" Senior bawel itu menghardikku.
Aku berdiri tanpa bisa protes dan berjalan mencari senior yang bertanda khusus. Aturan mainnya memang telah ditetapkan, yang menghukum cuma senior dari bagian tata tertib. Akhirnya kudapatkan juga senior mengenakan pita merah di lengan bajunya yang tengah berdiri sendiri.
"Maaf, Kak, saya diminta menghadap karena kesalahan saya," kataku tanpa berani menatapnya.
"Apa kesalahan kamu?" Suara itu terdengar menggelegar.
"Minum sebelum waktunya."
"Bagus. Siapa nama kamu?"
"Sisilia."
"Siapa? Sisilia?"
Kulihat di melotot ke arahku. Entah hukuman seberat apa yang akan ia berikan setelah mendengar namaku.
"Kamu tahu siapa saya?" tanyanya kemudian.
"Tahu. Kakak dari bagian Tatib."
"Bego kamu! Maksudnya nama saya!" Suaranya makin meninggi.
Aku mencoba mengamatinya sekilas. Rasanya aku nggak melihat senior satu ini ketika pegarahan kemarin.
"Lihat muka saya! Perhatikan!"
Aku mengamati mukanya. Rahangnya yang kukuh, hidungnya, matanya, dan... kok yang muncul malah nama Justin Timberlake. Tapi nggak mungkin Justin membentakku dalam bahasa Indonesia.
"Ya, sudah kalau nggak mengenal. Kali ini kamu lolos dari hukuman. Tapi kalau nanti menghadap lagi masih belum kenal saya juga... awas!"
"Terima kasih, Kak!" Aku langsung berbalik lega. Buru-buru aku ke kelompokku. Rasanya masih ada waktu untuk istirahat beberapa menit.
"Diapain kamu tadi?" tanya Arni yang dekat denganku sejak penataran.
"Nggak diapa-apain. Kamu lihat sendiri dari sini, kan? Cuma aku disuruh nyari tahu namanya. Padahal dia kan nggak datang di acara kemarin, jelas aku nggak tahu namanya."
"Jadi kamu benar-benar nggak tahu namanya? Ya, ampun kamu tuh kuper banget sih. Dia kan Kemal, mantan coverboy empat tahun lalu. Cukup sering lho dia mejeng di majalah. Malah sempat main sinetron. Kamu tahu Winda yang dari Sukabumi itu. Nah, dia malah pengen kuliah di jurusan ini gara-gara ngefans berat sama Kemal," jelas Arni panjang lebar.
Aku ternganga. Oh, jadi dia coverboy. Pantas lagaknya macam begitu. Tapi apa iya sih cuma karena dia coverboy dan pernah main sinetron semua orang harus tahu namanya. Bagaimana dengan aku yang cuma hobi baca komik Asterix dan nonton film Hollywood? Benar-benar keterlaluan!
Belum reda rasa gusarku, para senior sudah menyuruh bersiap-siap untuk melakukan perjalanan melintasi dua bukit sebelum sampai ke lokasi perkemahan. Entah sengaja atau nggak, dalam perjalanan beberapa kali aku melihat Kemal tengah memandang ke arahku. Mungkin dia tengah merencanakan hukuman paling memalukan untukku kelak.
Karenanya, aku berusaha untuk nggak membuat kesalahan sekecil apapun lagi. Tapi dasar sial, tengah malam ketika diadakan pemeriksaan perbekalan, aku ketiban sial. Lilin yang kubawa patah meski aku sudah menyimpannya hati-hati.
"Kamu ke pos satu dan beritahu kesalahanmu!"
Buru-buru aku berlari sebelum dibentak kasar. Pos satu yang kucari tak jauh dan betapa kagetnya aku ketika melihat siapa senior yang sudah menungguku.
"Lagi-lagi kamu! Nah sekarang pasti kamu sudah tahu siapa saya. Kalau benar, kamu nggak akan dihukum...."
"Nama Kakak... Kemal."
"Cuma itu?"
"Kakak pernah jadi coverboy, juga main sinetron."
"Ada yang lain?"
Oh, apalagi yang kutahu? Mestinya aku tadi bertanya banyak pada Arni.
"Kamu benar-benar keterlaluan. Tutup matamu dengan ini," katanya sambil memberikan slayer. Aku segera mengikatnya hingga menutup mataku. Tanganku kemudian ditariknya dengan kasar hingga aku harus berlari mengikutinya. Entah berapa jauh aku berlari, tapi mendengar teriakan-teriakan sekitarku, aku yakin bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini.
"Sekarang buka slayernya!"
Aku menuruti kalimat itu. Kulihat ia masih berdiri di depanku. Setelah berlari tadi kurasa tubuhku sedikit hangat, tapi aku nggak tahu berada di mana kini karena di sekitarku hanya ada pohon teh.
"Apa kamu sekarang bisa mengenaliku?" tanyanya bersiteguh.
Aku tetap menggeleng. Rasanya aku benar-benar tersiksa.
"Bagaimana kalau kusebutkan 'bunga matahari ketabrak truk lantas ketiup angin ribut', kamu ingat?"
Aku mengerutkan dahiku. Rasanya nggak percaya mendengar kembali kalimat yang dulu pernah kudengar. Jadi....
"Kamu Peri, hm maksudku Primadi. Tapi kamu kan Kemal...." Aku terbata-bata.
"Kemal Primadi. Tapi dulu selalu menyingkat nama depanku. Lagian orang lebih senang memanggilku Jabrik, sampai kemudian kamu memanggilku Peri.... Oh, syukurlah kamu sekarang sudah mengingatku. Bertahun-tahun aku mencari kamu. Bahkan aku ikutan coverboy dengan harapan kamu kemudian bisa mengenalku dan menyuratiku. Tapi nggak ada. Tahu nggak, setelah pisah dengan kamu, aku selalu berusaha mencari penggantimu, dengan syarat bernama Sisil. Tapi nggak ada yang seperti kamu."
Aku tersenyum. "Sekarang setelah ketemu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku ingin kita bisa dekat lagi seperti dulu. Bahkan kalau bisa.... Eh, ada senior yang datang.... Jadi itu kesalahanmu! AYO TUTUP MATAMU!"
Aku terpaksa menahan tawa mendengar nada suaranya yang tiba-tiba meninggi itu. Aku nggak peduli lagi bagaimana Peri yang pertama singgah dalam hidupku ini mengajakku berlari kembali menuju perkemahan. Aku gembira tanpa bisa kujelaskan bentuknya.
Dan perploncoan ini jadi nggak terlalu mengerikan buatku. Apalagi Kemal, eh Peri sempat berbisik tadi, "Kalau kena hukuman cepat cari aku biar kamu nggak sampai dimacam-macamin yang lain!"
Hihihi, curang sebenarnya. Tapi biar bagaimana juga, tugas seorang Peri di mana pun memang harus menolong sih! ©
BIODATA PENULIS
Benny Ramdhani,
lahir di Bandung. Ia merupakan penulis senior, yang karyanya sudah tak
terbilang jumlahnya, yang telah diterbitkan oleh berbagai media cetak
nasional. Ia juga merupakan salah satu penulis cerita remaja yang paling
banyak menjuarai LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang.
Novelnya pun sudah banyak diterbitkan oleh berbagai penerbit nasional di
Bandung dan Jakarta. Kini ia menjabat sebagai chief in editor pada Penerbit Mizan Publishing di Bandung.
|
0 komentar:
Posting Komentar