VIVAnews - Mesir masih bergolak. Ketegangan masih
berlangsung di tengah kota, Tahrir Square, Kairo, Mesir, hingga Kamis 3
Februari 2011, sekitar pukul 09.00 pagi waktu setempat atau sekitar
pukul 14.00 WIB.
Sehari sebelumnya hingga menjelang malam, bentrokan pecah antara
pendukung Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan kubu antipemerintah.
Bentrokan ini adalah peristiwa terburuk sepanjang demonstrasi sembilan
hari menuntut Mubarak mundur.
Massa pro Mubarak itu muncul setelah Presiden yang telah berkuasa
hampir tiga dekade itu menolak mundur. Dalam pidatonya, Mubarak akan
meletakkan jabatan pada September mendatang, atau bertepatan saat
Pemilu. Dia berjanji, tak akan ikut lagi dalam bursa calon presiden.
Bentrokan
dua kubu pro dan kontra berlangsung brutal. Massa antipemerintah yang
bermodal kayu dan batu, berhadapan dengan massa pro-Mubarak yang diduga
bersenjata lebih mematikan. Massa pro-Mubarak bahkan membawa kuda dan
unta. Ada pula yang melempari bom molotov, dan blok beton.
Ribuan pendukung Mubarak juga mempersenjatai diri dengan tongkat dan
pisau saat memasuki alun-alun. Situs berita Sidney Morning Herald
menyebut adanya letusan senjata api di tengah bentrokan. Tiga orang
tewas sebelumnya diduga kuat meninggal karena peluru tajam.
Kini, korban tewas terus bertambah. Enam orang dilaporkan meninggal,
dan sekitar 1.500 orang dilaporkan luka-luka. Menteri Kesehatan Mesir
Ahmed Samih Farid menyebut korban tewas lima orang. "Sebanyak 836 dibawa
ke rumah sakit, dan 86 di antaranya menjalani rapat inap," kata Ahmed
seperti dilansir Telegraph.co.id, Kamis 3 Februari 2011.
Banyak
yang menduga massa pro-Mubarak adalah aparat keamanan berbaju preman.
Informasi mengejutkan ini dilansir situs berita Al Jazeera. Dari
kartu identitas yang disita masa antipemerintah dari massa pro Mubarak,
diketahui kartu itu adalah tanda keanggotaan dari kepolisian setempat.
Kementerian Luar Negeri Indonesia juga mendapat informasi dari
Kedutaan Besar RI di Mesir bahwa ada dugaan massa propemerintah itu
adalah aparat keamanan. Di anatara mereka, ada pula yang berasal dari
Partai Demokratik Nasional, partainya Mubarak.
"Informasi dari KBRI (Kedutaan Besar RI), massa pro-Mubarak ini
ditengarai berisi aparat keamanan," kata Kepala Divisi Direktorat Timur
Tengah Kementerian Luar Negeri, Bambang Purwanto, dalam perbincangan
dengan VIVAnews.com, Kamis 3 Februari 2011.
Demonstran anti Mubarak hanya 'pasang badan' dengan senjata seadanya.
"Diduga juga ada sniper di lokasi bentrokan," ujar Bambang. "Informasi
yang kami dapat, lima orang tewas," ujar Bambang. Bentrokan berlangsung
sekitar 12 jam lamanya. Hujan bom molotov hingga batu-batuan terus
berlangsung dari atap gedung.
Wakil Presiden Omar Suleiman,
mantan kepala intelijen Mesir, meminta demonstran mengakhiri aksinya
agar dialog antara oposisi dan pemerintah bisa dimulai. "Semua warga
diimbau kembali ke rumah dan mematuhi jam malam. Ini untuk meningkatkan
upaya pemerintah memulihkan keamanan dan stabilitas, serta mengurangi
kerusakan dan kerugian akibat demonstrasi," kata Suleiman, seperti
dilansir ABC News, 2 Februari 2011.
Peristiwa lain juga
terjadi. Massa pro-Mubarak menyerang beberapa wartawan di jalan-jalan
Kairo. Tak hanya wartawan lokal menjadi sasaran. Jurnalis asing juga
menjadi target serangan pendukung Mubarak. Seperti dilansir Stasiun
Berita CNN Rabu, 2 Februari 2011, seorang wartawan Belgia
ditahan. Jurnalis Belgia ini dipukuli dan dituduh sebagai mata-mata oleh
pendukung rezim Mubarak. Wartawan Belgia itu dianiaya di pusat kota
Kairo, Choubra.
Seorang wartawan Mesir juga menjadi sasaran
pengeroyokan beberapa jam setelah ada insiden penangkapan di Lapangan
Tahrir. Penyerangan juga dialami jurnalis dari BBC, ABC News dan
CNN. Di antara mereka yang menjadi korban adalah wartawan CNN
Anderson Cooper dan Hala Gorani. Serangan ini sontak mengundang
perhatian dunia internasional. Kelompok jurnalis internasional menuding
serangan-serangan kepada sejumlah wartawan itu dilakukan pemerintah yang
masih berkuasa, Mubarak.
"Pemerintah Mesir sedang berupaya melakukan strategi untuk
menghilangkan kesaksian atas tindakan mereka," kata Koordinator Komite
Perlindungan Jurnalis (Commite to Protect Jornalists) wilayah Timur
Tengah dan Afrika Utara, Mohamed Abdel Dayem. Abdel Dayem melanjutkan,
serangan kepada wartawan adalah salah satu cara untuk mengintimidasi
pemberitaan.
Nasib nahas dialami wartawan Al Arabiya, Ahmed Abdullah. Abdullah
hilang selama tiga jam. Editor Abdullah mengatakan, anak buahnya yang
diduga diculik itu telah ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Konflik kian tajam
Aksi sejuta massa yang berlangsung kemarin dipicu pernyataan Mubarak
yang menolak mundur. Presiden berusia 82 tahun itu menyatakan tak
berkenan mencalonkan diri lagi pada September mendatang. Atas respons
pidato itu, massa penentang Mubarak kian geram. Massa bersikukuh,
Mubarak turun. Massa pun memasang tenggat waktu. Jumat 4 Februari besok,
adalah waktu terakhir bagi Mubarak untuk lengser.
Di Amerika,
Gedung Putih menangkap sinyal dari demonstran yang menginginkan segera
dibentuk pemerintahan sementara. Selain menuntut Mubarak turun, massa
juga menginginkan adanya perubahan konstitusi.
Washington yang menjadi sekutu dekat Kairo sejak tiga dekade terakhir
berubah haluan. Amerika mengarahkan segera dibentuk pemerintahan
transisi. Pemerintahan sementara ini diharapkan diisi oleh unsur
gabungan dari partai oposisi dan rezim yang kini masih berkuasa.
Pemerintahan transisi dari dua komposisi besar itu juga disarankan
menulis ulang konstitusi Mesir. Dan yang paling digarisbawahi yakni,
partai oposisi diberi kesempatan mengusulkan aturan terbaru agar bisa
andil dalam Pemilu nanti. "Perubahan itu diperlukan sekarang," kata juru
bicara Gedung Putih Robert Gibbs, seperti dilansir VOA News.
Desakan
itu ditolak Mesir. Kementerian Luar Negeri Mesir menentang tekanan
Amerika untuk melakukan transisi politik. Bahkan, Kementerian Luar
Negeri menuding Amerika telah memprovokasi, dan memperkeruh situasi
dalam negeri Mesir. "Pihak asing menghasut situasi internal di Mesir,"
tulis keterangan resmi Kementerian Luar Negeri Mesir, Rabu 2 Februari
2011.
Pemimpin oposisi Mesir Mohammad ElBaradei menjadi tokoh yang
digaung-gaungkan penentang Mubarak. Baradei adalah Kepala Badan Pengawas
Nuklir Internasional (IAEA) di Wina, Austria. Dia pernah meraih Nobel
Perdamaian karena usahanya mencegah penggunaan energi nuklir untuk
tujuan militer. Selama 12 tahun Baradei berkiprah di lembaga anti-nuklir
itu. Tokoh lokal yang mendapat pengakuan dunia itu kini dielu-elukan
penentang Mubarak.
WNI diduga tewas
Imanda
Amalia (28), wanita diduga warga negara Indonesia disebut-sebut tewas
dalam kekisruhan politik di Mesir. Informasi itu berawal dari akun
facebook atas nama Science of Universe, Kamis 3 Februari 2011.
Penulis pesan itu atas nama Ayman Mahmoud anggota United Nations
Relief and Works Agency (UNRWA), organisasi PBB untuk Urusan pengungsi
Dunia di Kairo, Mesir. Dalam status itu disebut, "Imanda Amalia (28
tahun), seorang warga negara Indonesia dan anggota (UNRWA) dilaporkan
telah meninggal akibat pergolakan politik di Mesir."
Akun Facebook Science of Universe itu belakangan meminta maaf atas
inforamsi yang disampaikan. Permohonan maaf itu ditulis admin akun itu
sekitar pukul 13.45 WIB, Kamis 3 Februari 2011. "Pihak keluarga mohon
agar berita duka ini tidak disebarluaskan," tulis pesan itu.
Meski masih menyebut kata-kata 'duka', belum ada kepastian Imanda
tewas.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan informasi
seputar kabar meninggalnya satu orang yang diduga Warga Negara
Indonesia atas nama Imanda Amalia di Kairo, Mesir.
Menlu mengatakan tak ada data yang memastikan nama tersebut tewas di
Mesir. ??"Kemenlu dan perwakilan berupaya memverifikasi informasi ini
antara lain dengan komunikasi ke kantor UNRWA di beberapa lokasi, Timur
Tengah, Kairo, Yordania, New York, dan kantor PBB Jakarta," jelas Marty
pada jumpa pers di kantornya, Kamis 3 Februari 2011.
Salah satu pejabat kantor badan dunia itu yang dikonfirmasi adalah
Khadir Alkaridza, Kepala UNRWA di Kairo. Hasilnya, jelas Marty, tak ada
korban atas nama Imanda Amalia yang bekerja sebagai staf UNRWA.
Dari sumber pertama di UNRWA Mesir, Kemenlu mendapatkan informasi
bahwa tak ada WNI yang bekerja di lembaga dunia itu di Mesir. "Sekali
lagi, ini di Mesir. Siapa tahu yang bersangkutan adalah staf UNRWA
wilayah lain yang kebetulan terjebak di Kairo," jelas Marty.
Mengenai informasi Imanda adalah warganegara Australia, Marty
mengatakan kantornya sedang mencari kepastian dari Kedutaan Besar
Australia di Jakarta. Namun, hingga Kamis malam pemerintah Australia
belum bisa memberi konfirmasi. (np)
• VIVAnews
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar